Pengikut

Jumat, 08 Agustus 2014

Di Balik Layar

 Bukan hal baru buatku menemukan orang – orang bersaing meraih posisi dan kesuksesan dangan cara apapun. Hal ini sering aku dengar dari ibuku, teman – teman dan juga tetangga. Wah jadi curcolku kelebihan nih, tapi itu bukan tidak bermanfaat. Ada pepatah yang mengatakan belajar dari pengalaman itu bagus sekali, tapi akan lebih bagus lagi kalau itu pengalaman orang lain. Cerita tentang mahasiswa atau karyawan yang harus berdebat dimeja kerja demi mempertahankan pendapat atau posisi atau preman yang mempertahankan kekuasaan itu pasti wajar tapi yang tidak wajar adalah jika pelakunya adalah nenek yang umurnya sudah 80 tahun keatas.
Siang itu, aku dan temanku sedikit tersesat mencari alamat tempat tes untuk mencari pekerjaan besoknya. Tapi entah kenapa aku mengambil arah yang salah dan aku terus berjalan. Hingga akhirnya aku dipersimpangan jalan dan ingin bertanya. Tampak ada nenek berpakaian lusuh duduk dipinggir jalan. Aku dan temanku mencari tempat agar teduh untuk melihat alamat kembali. Tiba – tiba nenek itu berteriak dan marah – marah pada seorang laki – laki yang berdiri tidak jauh dibelakangku. Karena kaget aku dan temanku menoleh. Sempat aku dengar jika nenek itu mengumpat seorang sopir mobil APVwarna hitam yang ingin perkir di persimpangan jalan itu, agak kedalam sih jadi cocok untuk tempat parkir sebenarnya. Nenek itu protes kepada pemuda tadi yang mengambil uang parkir dari sopir, karena wilayah/tanah itu ada dibawah kekuasaannya. Tampak pemuda itu memberikan uang pada nenek itu, baru nenek itu berhenti marah. Saat beliau sedang marah dan memaki kearah pemuda tadi aku lihat cincin emas melingkar ditangannya. Wah, wah.. hebat banget. Nenek- nenek juga masih punya wilayah kekuasaan rupanya. Akhirnya aku bertanya pada satpam yang tak jauh dari tempat itu juga. Ternyata benar kita salah arah.
Sore itu juga aku ngajar didaerah Jakarta pusat. Agak jauh kedalam dan satu – satunya kendaraan yang paling cepat aku dapatkan dan murah adalah P20 jurusan senen-lebak bulus. Sudah sedikit gelap jadi aku harus buru – buru naik. Tak jauh dari sana ada seorang nenek naik lengkap dengan sebuah tas besar, sebuah bungkusan plastik bening dan sebuah bungkusan plastik putih jadi totalnya 3 barang besar belum tas kecil yang selalu dipundaknya. Wah hebat banget nih nenek, tapi kenapa tidak naik taksi atau angkutan yang lebih manusiawi lagi untuk seorang nenek tua seperti nenek ini. Oleh kondektur nenek itu duduk disebelahku tepat dibelakang supir, tapi beda kursi denganku, dibelakang supir sudah ada ibu muda berjilbab yang tampaknya tidak nyaman dengan kehadiran nenek. Bagaimana bisa nyaman coba, barang yang banyak itu ditaruh nenek tepat didepannya dan nenek juga tertidur sambil menempelkan kepalanya dibahu si ibu. Suasana bis kota yang memang selalu pengap itu ditambah dengan macet dan kehadiran nenek yang mendesaknya terus pasti lama – lama tidak kuat. Beberapa kali aku lihat nenek dengan ibu muda itu berbeda pendapat dan ibu muda berusaha untuk keluar dari desakan si nenek. Hingga akhirnya dengan berbagai cara dan dibawah tekanan tak mampu bernafas, akhirnya si Ibu muda ingin keluar dari tempat duduknya. Nenek yang tak mau tas atau barang – barang terlangkahi apalagi terinjak kaki berusaha menahan ibu muda seeprti membuat jalan, agar tak melawati. Sayangnya si Ibu muda tidak tahu atau karena memang sebel, beliau berjalan dan melangkahi tas nenek, nenek yang kesal karena merasa tersolimi langsung mengumpat dan memaki – maki Ibu Muda dari tempat duduknya. Orang yang paling dekat kena marah dan kaget adalah aku dan Pak Supir. Aku tak menyangka nenek akan semarah dan seganas itu. Wah, sepanjang perjalanan hingga aku turun dari bis kota itu nenek masih kesal dan berbicara sendiri mengarah ke Ibu muda yang kini masih duduk di depanku.

Sungguh nenek-nenek ini luar biasa. Mereka mengingatkan aku pada kakek dan nenekku yang luarbiasa di rumahku. Yang tak pernah henti memberikan dukungan dan nasehat indahnya. Kakekku, bukanlah orang yang senang di masa kecilnya. menurut cerita nenek aku, Beliau, anak yatim piatu, bapaknya meninggal ketika kecil dan ibunya menikah lagi beberap waktu kemudian. Kakekku dan kedua adik laki- lakinya tinggal bersama bibinya yang sangat cerewet dan kejam. Mereka harus menumbuk padi orang lain agar mendapatkan upah beras. Tak pernah punya waktu bermain dan selalu bekerja apapun itu untuk menyambung hidup. Memang pada masa itu hidup sangat sulit, ditambah lagi dengan kondisi keluarganya yang demikian. Walaupun demikian pengalaman berdagang yang digelutinya dari kecil membuat kakekku pintar sekali menghitung. Beliau dan Nenekku adalah dua cinta sejati yang hebat dalam matematika. Mereka punya rumus tertentu yang menyelesaikan masalah matematika seperti perkalian sebelah, duapuluh lima dan persentange, penjumlah, perkalian, pembagian dan pengurangan sudah di luar kepala. Mereka hebat walaupun nenekku tak lulus sekolah dasar dan kakekku lulus sekolah rakyat. Merekalah yang mengenalkan padaku indahnya matematika dari masalah kehidupan sehari-hari. Jika kakek nenekku yang sangat peduli dengan pendidikan berbeda dengan Bapakku dan ibuku yang pelit, sampai dengan uang buat beli buku pun susah ku dapatkan
Setiap anak atau remaja orang tua yang paling di sayang adalah bapak atau ibu. Kalau aku sedikit berbeda. Karena aku lebih menyayangi Kakek dan nenekku dari pada orang tuaku. Aku sayang Bapak dan juga Ibuku sebagai orang yang telah melahirkan dan membesarku. Tapi orang yang lebih memaknai hidupku adalah kedua orang tua ayahku ini. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara kedua orang tuaku tak mudah untuk mendidikku satu persatu apalagi memenuhi kebutuhan sekolahku. Bapakku seorang petani kecil yang perhasilannya tak begitu besar. Aku tak bisa meminta sesuatu yang benar – benar aku inginkan kepada orang tuaku. Karena jika aku membeli seperti baju baru atau sepatu baru, adikku yang lain juga pasti akan merengek – rengek ingin dibelikan. Begitu juga sebaliknya, aku belum mengerti dan belum paham arti bergiliran dan mengalah. Karena aku tak mau mengalah juga ibu kadang memarahiku bahkan mencubitku hingga biru. Suatu hari aku minta dibelikan buku, kalau baju aku tak dbelikan itu tak masalah masih ada baju yang lain. Tapi jika urusan sekolah aku tak bisa menundanya. Aku hanya menangis karena ibu dan Bapak tak mungkin mengabulkannya. Karena tak tahan mendengar aku menangis terus ibuku yang sedikit ringan tangan melemparku dengan apa saja yang ada didekatnya. 



Itu sudah biasa, apalagi jika aku terlambat atau lupa mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu atau mengambil air yang tempatnya lumanyan jauh, atau membuang sampah sembarangan aku akan kena jewer atau marahnya. Saat ini, itu adalah hal biasa karena memang dasarnya saja aku anak yang sedikit aktif dan tidak suka tidur siang jadi main terus hingga lupa mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi waktu itu, saat aku belum tahu arti disiplin dan tanggung jawab tugas dan kewajiban adalah hal yang paling menyiksa. Aku tak mengerti kenapa teman – temanku bisa bebas bermain tanpa pernah dimarahi ataupun dicubit yang membuat pantat atau tanganku sakit. Aku paling tak suka tugas menjaga adik, karena itu akan membatasi gerakan aku untuk bermain dengan teman – temanku. Saat itu umurku baru 8-9 tahun. Jadi sekitar kelas 4 atau 5 Sekolah Dasar. Aku ingin sekali dibelikan buku bahasa Bali. Tapi Bapak tak kunjung membelikannya, padahal semua tugas membaca aksara Bali belum aku buat karena menunggu buku yang akan dibelikan Bapak. Aku menuruti dan mengerjakan apa yang ditugaskan Ibu di rumah seperti menjaga adik, menyapu, mencuci dan mengambil air. Tumben aku tak kena marah urusan itu, hanya karena aku ingin buku itu demi pelajaran Bahasa Baliku yang jelek terus karena aku tak punya buku.
Bagaimana aku bisa terima nilai aku yang lain antara 80 samapi 90 tapi Bahasa Bali dapat 70, aku orang Bali kenapa dapetnya segitu. Teman – teman yang lain pada punya buku yang dibelikan orang mereka masing – masing, mereka belajar dan bisa menjawab soal ulangan dengan baik. Tapi aku, membaca aksara Bali saja masih tersendat apalagi bisa menjawab pertanyaannya. Padahal dari segi logika, aku lebih tahu jawabannya dari pada teman – temanku. Terbukti saat satu kali aku ulangan menggunakan tulisan latin, nilaiku 100. Tapi begitu aksara Bali, nilaiku mulai jatuh dan sulit untuk naik lagi dalam kondisi tak punya buku. Itulah alasan aku memaksa Bapak membelikan Buku. Bapak memang beda, aku pun diajak Bapak langsung ke toko yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Saat tiba di toko buku yang tak begitu besar dan imut itu, aku senang sekali. Andai aku punya banyak uang pasti aku beli semua buku – buku yang aku butuhkan saat itu juga. Ditambah dengan beberapa majalah, buku cerita, novel dan buku pelajaran lainnya. Wah, aku langsung gila buku, posisiku saat ini seperti si pungguk merindukan bulan. Aku sudah cukup senang dan bahagia buku Bahasa Bali yang aku butuhkan aku dapatkan.

Perbedaan pendapat dengan Ibu yang tidak selamanya berjalan lancar. Tujuan Ibu melakukan itu adalah untuk mendidikku. Kalau tidak, mungkin sekarang aku menjadi orang manja dan kerjanya hanya minta uang tanpa mau berusaha. Terima Kasih Ibu dan Bapak yang telah membuatku lebih memaknai hidup. Kakek dan Nenekku yang membuatku tak pernah patah semangat walaupun badai menimpaku dan menghalangi jalanku mengingat kalian membuatku bangkit dan terus maju. Keluargakulah yang ada di balik aku saat ini.