Pengikut

Senin, 22 Juli 2013

Seberapa Pancasilakah Anda?



Seperti yang kita ketahui Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang dibentuk oleh para pendiri bangsa Indonesia pada tahun 1945. Lahirnya Pancasila pada tahun 1945 tidak terlepas dari perdebatan dan perbedaan pendapat dari para pendiri bangsa Indonesia. Hal itu terjadi karena para pendiri bangsa Indonesia menginginkan ideologi bangsa yang benar – benar sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Salah satunya mempertimbangkan keberagaman dan kemajemukan budaya dari setiap daerah yang dimiliki bangsa Indonesia. Seperti pada sila pertama Pancasila yang awalnya “Ketuhanan yang maha esa dan kewajiban menjalankan syarikat islam bagi pemeluk - pemeluknya”. Namun hal ini menjadi perdebatan karena hal ini akan mematikan perkembangan agama lain selain Islam yang juga bagian dari bangsa Indonesia.
Kemudian pada rapat PPKI tanggal 18 Agustus 1945 terdapat usulan menghilangkan kalimat “kewajiban menjalankan syarikat islam bagi pemeluk – pemeluknya” sehingga sila pertama menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Hal ini  dilakukan sebagai pertimbangan kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai agama. Agama Islam memang mayoritas di Indonesia saat itu, tapi di Indonesia juga ada agama selain Islam yang juga merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Begitu banyak yang dipertimbangkan dan diperhatikan saat itu hingga terlahir Pancasila yang menjadi dasar, falsafah dan identitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu penting bagi rakyat Indonesia menghargai dan menjalankan nilai – nilai Pancasila.
Selain itu setiap sila Pancasila yang telah disusun sedemikian rupa oleh pendiri bangsa memiliki makna tersendiri yang menjiwa kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa Indonesia. Setiap sila yang tersusun juga saling berkaitan dengan sila yang lainnya. Misalnya sila pertama Pancasila yang juga berhubungan dengan sila kemanusian yang beradab dan sila persatuan Indonesia. Indonesia yang beragam harus dapat bersatu dan selalu mempertikan nilai – nilai kemanusian dan ajaran agama yang anut oleh masing – masing penduduk. Demikian juga sila keempat, untuk dapat menciptakan pemerintahan demokratis harus diikuti dengan keinginan untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh Indonesia seperti yang ada pada sila kelima. Indonesia merupakan negara beragam yang membutuhkan dasar dan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan kemajemukannya itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Pancasila merupakan landasan yang sesuai dengan jiwa kehidupan bangsa Indonesia saat ini.
Seperti yang dituliskan oleh Astuti (2012) sila Ketuhanan yang maha esa yang bermakna bahwa bangsa Indonesia percaya dengan mengakui adanya satu Tuhan. Sehingga sebagai umat beragama, bangsa Indonesia harus taat dan menjalankan ajaran agama yang diyakininya. Selain itu juga menghargai dan menghormati agama atau keyakinan orang lain. Namun dalam pelaksaannya saat ini banyak terjadi konflik atas nama agama yang mengganggu keamanan dan membuat resah masyarakat. Hal ini terjadi karena lemahnya pamahaman masyarakat tentang agamanya sendiri dan juga pemahaman tentang makna Pancasila itu sendiri. Belum lagi isu munculnya aliran sesat yang belakangan mewarnai kehidupan beragama di Indonesia. Sebagai bangsa Indonesia yang percaya dengan adanya satu Tuhan seharusnya tetap pada pendirian dengan menjalankan ajaran agama yang diyakini dan menghormati agama orang lain yang berbeda dengan kita tanpa harus berpikir bahwa keyakinan orang lain itu salah dan keyakinan ini yang benar.
Selama saya menjadi warga Negara Indonesia saya percaya dan menjalankan ajaran agama Hindu dan saya berinteraksi dengan teman saya yang juga berbeda agama. Saya tidak mempermasalahkan seperti apa teman saya menjalankan ajaran agamanya. Saya berusaha untuk menghormati dan menghargai agama yang mereka anut. Saya ikut juga merayakan lebaran, natal, paska, imlek dan waisak sebagai rasa hormat saya terhadap teman – teman dan keluarga saya yang merayakan. Saya merayakannya dengan berkunjung ke rumah teman yang sedang berhari raya atau ikut acara bertukar kado yang sering di lakukan di kampus. Tak hanya saat hari raya besar tapi juga setiap hari, saat kegiatan latihan paduan suara atau diskusi atau rapat sedang berlangsung, tiba saat sholat maka kita istirahat sebentar untuk memberikan kesempatan kepada teman yang ingin beribadah. Dari hal itu saya sering berpikir alangkah indah keberagaman dalam perdamaian dan saya bersyukur dilahirkan di Indonesia.
Hal yang sama juga disampaikan Astuti (2012) untuk sila kemanusian yang adil dan beradab yang bermakna bahwa bangsa Indonesia menempatkan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya  yang sama di depan hukum. Hal ini sesuai dengan sifat universal bahwa kemanusian dimiliki oleh semua bangsa yang juga harus diterapkan di Indonesia. Persamaan di depan hukum berarti bahwa semua warga negara tidak memandang status sosialnya, tetap memiliki hak yang sama di depan hukum. Namun berbeda dengan kasus kecelakaan yang dialami oleh anak Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Muh. Rasyid yang menewaskan dua penumpang dan tiga lainnya luka – luka, namun sayangnya kasus ini berakhir dengan perdamaian (kompas, 2013). Walaupun pihak korban mendapat santunan dari keluarga Hatta Rajasa, tapi kenapa Rasyid tidak diproses secara hukum yang berlaku di Indonesia. Apakah karena uang, pihak penegak hukum tidak dapat memproses kasus ini? hal inilah yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan sila kedua Pancasila ini.
Masih banyak lagi nilai kemanusian yang terabaikan di negeri ini, seperti anak usia sekolah seharusnya belajar di sekolah dan bermain dengan teman sebayanya tapi harus mengamen atau mengasong di lampu merah dan tempat umum. Tidak jarang kita dengar kabar berita seorang ibu yang mengalami depresi akibat kesulitan ekonomi, kemudian bunuh diri setelah membunuh anak kandunganya juga. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan sosial yang belum terjamin menyebabkan hilangnya rasa kemanusian yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
Dalam membantu dari segi kemanusian juga perlu diperhatikan. Sering saya lihat orang – orang memberikan bantuan berupa materi seperti uang dan bahan pokok. Tapi menurut saya itu hanya bersifat sementara dan cepat habis. Bahkan itu membuat masyarakat terbiasa menerima bantuan dan tidak mau berusaha sendiri. Mereka tak merasa malu jika mendapat bantuan dari orang lain dan seolah – olah itu adalah hak mereka sebagai pihak yang membutuhkan bantuan. Memberikan bantuan itu tidak dilarang dan sangat mulia, tapi akan lebih baik hal itu juga diikuti dengan pemberian soft skill yang juga bermanfaat bagi masyarakat kurang mampu. Sama dengan yang saya alami selama menjadi relawan mengajar di salah satu sekolah alternative untuk anak jalanan di Cempaka Emas. Suatu hari perkampungan anak jalanan tempat saya mengajar kebakaran. Banyak bantuan makanan, bahan bangunan, pakaian dan perabotan rumah tangga lainnya berdatangan. Saya pun ikut sibuk membaginya dan masyarakat korban kebakaran berebut untuk mendapatkannya. Besoknya saya dan teman – teman ke tempat itu lagi untuk mengajar anak – anak jalanan yang rutin diadakan di tengah tenda pengungsian. Seorang ibu bertanya kepada teman saya “ kenapa hari ini tidak ada pembagian beras atau sembako? ”, teman saya pun menjelaskan kepada ibu tersebut bahwa hari ini memang tidak ada sumbangan yang bisa dibagikan. Hal yang sama juga terjadi pada minggu berikutnya. Dari kejadian itu saya berpikir jika masyarakat tidak hanya membutuhkan beras atau sembako tapi kemampuan untuk mendapatkan sendiri bantuan materi itu. Karena jika hanya menunggu bantuan itu datang tentu tidak akan ada yang bisa terus memberikan bantuan.
Demikian pula pada sila ketiga persatuan Indonesia dituliskan oleh Astuti (2012), yang bermakna persatuan itu bulat, satu dan tidak terpecah atau jika dikaitkan dengan maknanya pada pengertian modern disebut dengan nasionalime. Keadaan Indonesia yang majemuk memang harus bersatu untuk bisa hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan yang ada. Walaupun hal ini sudah ada dalam Pancasila, tapi masyarakat Indonesia masih sering lalai dengan hal tersebut. Hal ini dapat dilihat dari berbagai konflik antar etnis di beberapa daerah di Indonesia.
Berita kerusuhan antar etnis yang terjadi di Lampung beberapa waktu lalu adalah contoh nyata lemahnya persatuan bangsa Indonesia. Perang saudara tersebut hanya berawal dari masalah anak muda yang seharusnya bisa diselesaikan dengan jalan hukum . Tapi pecah menjadi kerusuhan selama tiga hari yang memakan puluhan korban jiwa dan luka – luka, ditambah lagi dengan ratusan rumah dan sekolah terbakar . Kerusuhan antara suku Bali dan Lampung itu berakhir dengan perjanjian damai kedua belah pihak (Kristanti, 2012). Saya tidak dapat membayangkan apa terjadi dengan saudara kita di Lampung itu. Rasa kecewa dan prihatin yang mendalam saya pernah rasakan saat mendengar berita kerusuhan Lampung. Ternyata pertikaian antar etnis masih belum habis ceritanya di tanah Nusantara ini. Oleh karena itu, penting bagi rakyat Indonesia di mana pun berada di Indonesia harus bisa saling menghormati dan bertoleransi dengan suku, agama atau ras lain yang juga saudara kita di Indonesia.
Demikian juga dengan Sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan /perwakilan yang bermakna bahwa bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi (Astuti, 2012). Namun ada satu hal yang membedakan demokrasi di Indonesia dengan Demokrasi barat yaitu pada permusyawaratan yang mengacu pada pengambilan keputusan secara bulat. Sedangkan kebijaksaan itu merupakan suatu prinsip bahwa yang diputuskan memang bermanfaat bagi kepentingan rakyat. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna yang paling melekat pada sila ke empat adalah nilai – nilai gotong royong dan musyawarah mufakat yang mementingkan kepentingan bersama.
Namun berbeda halnya dengan beberapa wakil rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat yang belum bisa sepenuhnya mewujudkan apa yang diinginkan oleh rakyat. Bahkan menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi yang tentunya merugikan masyarakat itu sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Revida (2003) korupsi adalah parasit sosial yang mengganggu pemerintahan dan penghambat pembangunan pada umumnya. Bagaimana tidak, uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan dan kesejahteraan rakyat habis digunakan untuk kepentingan pribadi. Hal ini tentu tidak sesuai dengan makna nilai – nilai pancasila pada sila keempat yang mengedepankan kepentingan orang banyak diatas kepentingan pribadi.
Korupsi yang sudah dilakukan oleh beberapa pejabat negara tersebut hanya sebagian dari korupsi yang sering terjadi di Indonesia. Sebenarnya efek globalisasi yang menyebabkan masyarakat cenderung lebih mementingkan kepentingan pribadi tersebut bukan hanya terjadi pada pemerintah tapi juga dalam kehidupan masyarakat Indonesia kebanyakan. Seperti yang diceritakan oleh Miss Desiree pada saat kelas Affective Education 21th Century Learning tahun lalu, beliau melakukan percobaan dengan menyebarkan jepitan rambut atau hiasan di sekitar kelas yang beliau ajar dan berharap ada yang mengembalikannya pada kotak lost and found yang ada di sekolah tersebut. Namun hasilnya tidak ada satu pun siswa di kelas tersebut yang mengembalikannya. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bagi orang tua, guru dan saya sebagai calon guru untuk mengenalkan siswa bahaya korupsi yang berawal dari ketidakjujuran dan mengambil hak milik orang lain secara diam - diam. Ditambah lagi dengan adanya contoh korupsi yang telah dilakukan oleh pejabat neraga terdahulu. Untuk memberikan pemahaman yang lebih mudah kepada siswa tentang korupsi nantinya, perlu ditegaskan bahwa pelaku tindak korupsi harus dihukum berat. Jika tidak, hal ini akan berdampak pada jiwa generasi muda selanjutnya.
Sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang bermakna kemakmuran yang merata bagi rakyat Indonesia yang dinamis dan meningkat. Adanya suatu persamaan dan saling menghargai karya orang lain Astuti (2012) . Berlaku adil terjadi apabila sesorang memberikan dan mendapatkan sesuatu seuai dengan haknya. Sila kelima inilah yang paling sulit untuk diwujudkan oleh pemerintah saat ini. Keadaan geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan menyebabkan sulitnya memantau keadaan setiap daerah di Indonesia. Sehingga setiap kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk setiap daerah harus dilakukan secara bertahap dan tidak bisa dilakukan secara serentak.  Namun seharusnya pemerintah sudah dapat mengantisipasinya dari dulu dan hal ini bukanlah menjadi alasan utama dalam mewujudkan sila kelima ini.
Namun yang lebih terlihat tentang ketidakadilan dalam pelaksanaan pancasila, sila kelima ini adalah dalam hal pendidikan dan kesejahteraan sosial. Mengapa negara yang kaya akan kekayaan alam ini tidak mampu membiayai pendidikan yang sangat menentukan masa depan bangsa ini. Jangankan di daerah pedalaman Papua, bangunan sekolah yang rusak juga masih kita temukan di Jakarta. Banyak anak putus sekolah karena harus membantu orang tuanya bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan masyarakat masih sangat rendah dan hal ini sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak bangsa. Tidak ada ketegasan dari pemerintah terhadap pendidikan anak putus sekolah tersebut.
Dapat kita lihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia pada tahun 2012 masih ada sekitar 10, 507 juta jiwa penduduk yang berada pada garis kemiskinan di Indonesia. Hal ini terbukti dari masih  ditemukannya pengemis dan juga anak jalanan yang tidak sekolah berkeliaran di lampu merah dan tempat umum lainnya. Permukiman kumuh dan pengangguran yang memicu kriminalitas masih banyak kita lihat di beberapa daerah di sekitarnya.
Setelah melihat seperti apa pengimplementasian Pancasila pada negeri ini, dapat saya katakana bahwa peimplemantasian tersebut masih berupa wacana yang belum terwujud pada beberapa sendi kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan saya, sebagai warga negara saya belum maksimal dalam mengamalkan nilai – nilai Pancasila tersebut kehidupan sehari - hari. Suatu pembelajaran yang berharga saya dapatkan dari kelas Pancasila beberapa waktu lalu tentang kalau bukan kita yang peduli dengan masa depan pemerintahan bangsa ini siapa lagi. Jika semua orang pintar negeri ini memalingkan muka terhadap kondisi negeri ini, maka yang akan menjadi pemimpin bangsa ini adalah generasi mental tempe yang hanya bisa menghabiskan uang rakyat untuk dikorupsi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memberikan kontribusi pada negeri ini sebagai anak bangsa. Kontribusi yang diberikan harus dimulai dari sekarang dan tak hanya menjadi wacana belaka.
Pengamalan nilai – nilai Pancasila memang banyak menuai masalah baik dilakukan oleh masyarakat kecil hingga pejabat negara yang seharusnya memberikan contoh. Untuk itu perlu dilakukan pemberdayaan kembali Pancasila yang merupakan dasar falsafah bangsa kita ini. Seperti yang dituliskan oleh Herdiawanto & Hamdayama, (2010) pemberdayaan Pancasila haruslah mengenalkan dan memberdayakan Pancasila sebagai manifestasi kepribadian bangsa yang sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945 yang dieksplorasi bersifat realitas, idealis, dan fleksibilitas. Andai apa yang menjadi tujuan para pendiri bangsa kita 68 tahun yang lalu mampu diwujudkan oleh bangsa Indonesia, mungkin kemiskinan, keterbelakangan dan konflik antar ras, suku dan agama bisa terhindar. Namun semua yang sudah terjadi bukan untuk disesali tapi harus dijadikan motivator untuk memberdayakan Pancasila kembali dalam kehidupan sehari – hari yang bisa kita mulai


Daftar Pustaka
Astuti, N. (2012). Pancasila dan piagam madinah: konsep, teori dan analis mewujudkan masyarakat madani Indonesia. Jakarta, Indonesia: Media Bangsa.
 Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Data jumlah masyarakat miskin di Indonesia tahun 2012 diunduh pada tanggal 9 Mei 2013 dari website: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&id_subyek=23&notab=1
Herdiawanto, H. & Hamdayama, J. (2010). Cerdas, kristis, dan aktif berwarganegara:pendidikan kewarganegaraan untuk perguruan tinggi hlm. 31-42. Jakarta, Indonesia: Erlangga.

Kristanti, E. Y. (2012). Akhiri kerusuhan, 2 desa di Lampung sepakati 10 butir perdamaian.  Diunduh pada tanggal 9 Mei 2013 dari website: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/364768-akhiri-kerusuhan--2-desa-di-lampung-sepakati-10-butir-perdamaian

Revide, E. (2003). Korupsi di Indonesia:masalah dan solusinya. Diunduh pada tanggal 9 Mei 2013 dari situs repository dengan website: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3800/1/fisip-erika1.pdf

Iqbal, M. (2013). Bedakan kasus Hatta Rajasa dengan  kasus Laka Lantas yang lain. Diunduh  pada tanggal ( Mei 2013 dari situs Kompas website: http://hukum.kompasiana.com/2013/01/13/bedakan-kasus-anak-hatta-rajasa-dengan-kasus-laka-lantas-yang-lain-525025.html

Pancasila Identitas Bangsa dalam Pengaruh Globalisasi



 Keragaman suku, budaya, agama dan adat istiadat yang ada di Indonesia merupakan hal yang membuatnya unik dan berbeda dengan bangsa lain di dunia. Keistimewaan dan keunikan tersebut merupakan identitas bangsa Indonesia yang membuatnya berbeda dengan bangsa lain di dunia. Dalam bahasa Inggris identitas berasal dari kata identity yang artinya ciri, tanda atau jati diri. Sedangkan nasional adalah ciri yang melekat pada suatu kelompok yang diikat oleh persamaan fisik seperti bahasa, budaya, dan agama. Menurut Wibisono (2005) dalam Herdiawanto & Hamdayama, (2010) identitas nasional adalah manifestasi nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan suatu bangsa dengan ciri khas yang membuatnya berbeda dengan bangsa lain. Untuk Indonesia sendiri identitas nasional adalah bentuk nilai budaya yang berkembang di Indonesia dari berbagai daerah yang menjadi suatu kebudayaan nasional dengan acuan Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Bangsa Indonesia yang majemuk merupakan gabungan unsur pembentuk identitas. Sejarah, agama, bahasa, suku bangsa, kebudayaan merupakan unsur pembentuk identitas (Srijanti dkk , 2009). Sedangkan menurut Herdiawanto & Hamdayama, (2010), keragaman kebudayaan dan negara kepulauan merupakan unsur identitas ilmiah yang menunjukkan betapa kompleknya Indonesia dengan Pancasila sebagai unsur identitas fundamental yang merupakan falsafah, dasar dan ideologi bangsa Indonesia. Kelima sila pancasila yang saling berkaitan membentuk suatu gambaran seperti apa kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sila pertama yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah negeri yang religious, menghormati dan percaya dengan adanya satu Tuhan. Hal ini mendasari sila kedua yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menghormati arti kemanusian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemudian terbentuknya persatuan yang kokoh diantara perbedaan dan keragaman budaya yang tercermin pada sila ketiga. Untuk membangun masyarakat yang sejahtera diperlukan pemerintahan yang bijaksana dan mengedepankan musyawarah mufakat yang diharapkan terwujud pada sila ke empat. Sedangkan sila kelima, kesejateraan yang adil dan merata bagi bagi seluruh rakyat Indonesia. Semuanya  mengandung cita – cita nasional bangsa Indonesia yang tercermin pada alinea ke 4 Pembukaan UUD 19945 yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia itu cinta damai, toleran dan selalu menjunjung tinggi nilai gotong royong dan musyawarah mufakat.
Pancasila, ideologi dan identitas bangsa Indonesia yang ada saat ini telah disusun oleh pendiri bangsa Indonesia berdasarkan berbagai pertimbangan yang berkaitan dengan keutuhan bangsa Indonesia yang beragam. Oleh karena itu hendaknya sebagai generasi penerus bangsa, masyarakat Indonesia bisa menghargai perjuangan tersebut dengan mengamalkan nilai – nilai pancasila dalam kehidupan sehari – hari. Dua peristiwa besar yaitu G30S/PKI dan runtuhnya Orde Baru yang terjadi beberapa tahun yang lalu merupakan ujian terbesar yang meragukan kekuatan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Namun semua itu membuat bangsa Indonesia sadar jika tidak ada yang bisa menggantikan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia yang selanjutnya menjadi bagian dari identitas bangsa.
Terlepas dari peristiwa tahun 1965 dan 1998 tersebut, arus globalisasi yang masuk ke Indonesia juga mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Dampaknya dapat kita lihat dari kasus kekerasan atas nama agama atau etnis tertentu yang sering terjadi belakangan ini. Seperti konflik antar etnis yang terjadi di Lampung antara etnis Bali dan etnis setempat. Kerusuhan yang hanya mengarah pada kepentingan satu kelompok atau satu etnis saja, hingga memakan korban jiwa dan harta benda. Padahal yang kita tahu Indonesia itu beragam dan cinta damai. Kenapa masalah yang sepertinya kecil harus diselesaikan dengan jalan membuat kerusuhan demi kepentingan satu kelompok tertentu atau individu. Ini adalah contoh masyarakat Indonesia yang sudah mulai terpengaruh budaya barat yang lebih mementingkan kepentingan individu satu golongan tanpa melihat konsekuensi yang timbul di masyarakat yang menyangkut kehidupan bersama. Budaya yang dimiliki oleh setiap daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab etnis tertentu saja tapi milik bangsa Indonesia yang patut dijaga dan dilestarikan.
Bukan hanya itu, kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah adalah contoh nyata hilangnya panutan atau teladan pemimpin bagi bangsa Indonesia. Tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat Negara merupakan pelanggaran nilai identitas bangsa yang tidak bisa ditelorir karena tindakan tersebut tidak sesuai dengan nilai – nilai Pancasila yang selalu mengedepankan kepentingan rakyat banyak bukan kepentingan individu atau golongan. Rakyat Indonesia yang sudah lelah dengan berita Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) tentu merindukan pemimpin bangsa yang mampu menjalankan pemerintahan berasaskan  Pancasila yang menjadi identitas bangsa Indonesia.
Hal ini menunjukkan mulai lunturnya nilai – nilai Pancasila saat ini yang disebabkan oleh pengaruh perkembangan teknologi dan arus globalisasi. Tampak perubahan prilaku sebagian masyarakat yang mulai menyimpang dari nilai Pancasila. Paham individualist dan materialistis yang mementingkan kepentingan pribadi dan mengukur semuanya berdasarkan materi merupakan salah satu dampak negatif dari globalisasi yang bertentangan dengan budaya nasional (Herdiawanto & Hamdayama, 2010). Nilai budaya Indonesia yang lebih mementingkan kepentingan orang banyak, gotong royong dan musyawarah semakin terkikis dengan munculnya pengaruh paham tersebut. Hal ini juga dituliskan oleh Firmansyah (2011) yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesial lebih suka menghadapi budaya luar dalam hal ini budaya barat daripada melestarikan budaya nasional.
Menurut Andre A. Ujan dkk (2009) globalisasi merupakan proses saling ketergantungan atau saling keterhubungan antar negara atau benoa yang membuat dunia seolah – olah sangat dekat dan sempit.  Hal ini menunjukkan bahwa globalisasi memberikan kesempatan kepada budaya luar (budaya bangsa lain yang berbeda dengan bangsa Indonesia) masuk dan berbaur dengan bangsa Indonesia. Masyarakat pun mendapat kesempatan untuk mengenal dan bahkan mengikuti kebiasaan luar. Budaya baru dan berbeda tersebut akan mempengaruhi perkembangan kehidupan rakyat Indonesia sendiri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi budaya nasional. Semakin banyaknya budaya atau kebiasaan baru yang muncul menyebabkan semakin banyaknya pilihan di kalangan masyarakat sehingga budaya nasional semakin terlupakan dan ditinggalkan oleh bangsa Indonesia sendiri.
Semua berawal dari kurangnya kesadaran  rakyat Indonesia sendiri yang seharusnya merasa bangga memiliki budaya tersebut. Sibuk dengan masalah dalam negeri yang cukup komplek sehingga tidak salah tari Pendet dan Batik diakui oleh negara tetangga. Seharusnya bangsa Indonesia bisa membaca peluang dan manfaat dari globalisasi tersebut. Selain belajar tentang budaya luar, hendaknya bangsa Indonesia bisa memperkenalkan budaya yang ada ke pihak luar. Masyarakat pun harus cerdas dalam menerima budaya yang didapatkan dari pihak luar dan selektif dalam memilih dan mengikuti budaya yang diterima.
Menurut Herdiawanto & Hamdayama,(2010) untuk mempertahankan identitas nasional perlu diadakan pemberdayaan identitas nasional itu sendiri. Pembinaan atau pengembangan nilai –nilai pancasila harus ditanamkan dan diamalkan dalam setiap sendi kehidupan rakyat Indonesia atau yang dikenal dengan revitalisasi Pancasila. Revitalisasi yang dilakukan harus mengenalkan dan memberdayakan pancasila sebagai manifestasi identitas nasional yang sesuai dengan isi Pembukaan UUD 1945 yang dieksplorasi bersifat realitas, idealis, dan fleksibilitas. Realitas berarti sesuai nilai dan kondisi yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat. Idealis berarti apa yang direncanakan harus melihat prospek ke depan yang lebih baik dan dapat dilakukan oleh bangsa Indonesia. Fleksibilitas menunjukkan bahwa pancasila bukanlah sesuatu yang tertutup atau barang jadi tapi sesuatu terus berkembang sesuai dengan kebutuhan tanpa menghilangkan nilai hakikinya. Pancasila tetap merupakan hal yang actual, relevan dan berfungsi sebagai penyangga kehidupan bangsa Indonesia.
Pendidikan merupakan salah satu revitalisasi Pancasila yang paling tepat dikembangkan salah satunya dengan penerapan pendidikan berkarakter. Menurut Firmansyah (2011) penerapan pendidikan berkarakter dan budi pekerti merupakan salah satu cara yang bisa digunakan untuk mengajak  generasi penerus bangsa sejak dini mengenal dan menjaga budaya nasional. Budi pekerti yang baik diharapkan mampu mencegah timbulnya konflik antar suku dan agama yang berbeda. Oleh karena itu sebagai calon guru yang akan mengajar siswa nantinya diharapkan paham dan dapat mengimplemantasikan pendidikan karakter kepada siswa. Tidak hanya mengajarkan materi saja tapi juga moral dan budi pekerti yang baik.
Daftar Pustaka
Firmansyah, A. (2011). Nilai pancasila dalam keanekaragaman budaya Indonesia untuk memenuhi tugas akhir. Diunduh pada tanggal 11 April 2013 dari website: http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0CDAQFjAA&url=http%3A%2F%2Fresearch.amikom.ac.id%2Findex.php%2FSSI%2Farticle%2Fdownload%2F6564%2F3944&ei=Oyd5UYqhDIfKrAfDgIGwBA&usg=AFQjCNFQD1hAK_BxbO0FlsPoS3YUiyxA4w&sig2=h1eqxl9nB9Av_HBYgQuBow&bvm=bv.45645796,d.bmk
Herdiawanto, H. & Hamdayama, J. (2010). Cerdas, kristis, dan aktif berwarganegara:pendidikan kewarganegaraan untuk perguruan tinggi hlm. 31-42. Erlangga:Jakarta,
Srijanti, dkk (2009). Pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi mengembangkan etika berwarganegara, edisi 3. Salemba Empat:Jakarta
Ujan, A. A. dkk (2009). Multiculturalisme:belajar hidup bersama dalam perbedaan, hlm. 7. PT Indeks: Jakarta.

Jumat, 04 Januari 2013

Ibu Tercinta

Lihatlah aku ini
Untukmu aku memberi
Hasil

Pada Jasamu yang sangar Terpuji
Utuh dan Setia pada diri ini
Tiap hari Kau menimang tubuh ini
Upah dariku tak pernah Kau harapkan lagi

Asalkan aku bahagia
Rasa sakit dan menderita
Indah terasa di jiwa
Anakmu kini tumbuh dalam setiap tetesan air mata bahagia
Sunyi terasa tanpa Bunda tercinta
Impianmu tak kan terlupa
Harusku wujudkan dengan segenap jiwa

Dendang kasihmu yang syahdu
Alang - alang, burung bersenandung merdu
Riang bahagia dalam setiap belaianmu
Inginku ku kenang selalu

Biru haru, rasa hati
Apabila berpisah denganmu Ibu sejati
Langkah yang lemah menjadi Jati
Ingat setiap nasehatmu setulus hati

By Luh Putu Ariasih
Jakarta, 04/01/13