Bestala sebuah desa indah di daerah Bali Utara
tepatnya di Kecamatan Seririt. Desa Asri dengan pemandangan yang masih alami dan
hijau. Selain alamnya yang masih Asri, Bestala juga masih memegang teguh adat
dan Budaya Bali dalam konsep ajaran Agama Hindu. Tri Hita Karana adalah salah
satu ajaran yang tetap dipegang teguh oleh penduduk warga desa ini. Parahyangan
atau menjaga hubungan baik dengan Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa. Pawongan
atau menjaga hubungan baik dengan sesame mahluk ciptaan Tuhan. Palemahan adalah
menjaga hubungan baik dengan alam. Tak salah jika rahmat dari Tuhan berupa
ketentraman dan keajegan desa serta hasil bumi berupa buah-buahan masih
berlimpah di Desa kecil ini.
Suasana hijau di kelilingi sawah, perkebunan buah-buahan,
palawija dan gemericik mata air alami di tengah-tengah desa, menjadi
pemandangan langka buat para wisatawan yang datang berkunjung. Ditambah dengan
kemegahan pura khayangan tiga yang tertata rapi di pinggir sungai Mendaum yang
jernih.
Namun tak terlepas dari indah dan asrinya desa
ini tentu ada sejarah yang tak bisa dilupakan. Ini tulisan di buat untuk
dokumentasi dan bahan pengetahuan untuk anak-cucu khususnya yang berasal desa Bestala.
Terlepas benar atau tidak cerita ini, hal ini akan menjadi awal mereka mengenal
dari mana asal-usul tempat mereka ini. sehingga tertanam rasa memiliki dan
mencintai daerah tempat tinggalnya hingga nanti.
Setelah melakukan wawancara dengan salah satu
penua dari Desa Bestala, akhirnya diketahui jika orang bestala khususnya warga
Pasek adalah keturunan dari Klungkung.
Konon ada 9 warga klungkung salah satunya
adalah arya Damar yang diutus oleh raja klungkung untuk mengantar 8 warga
klungkung untuk mencari tempat untuk kehidupan. Sampailah mereka di Naga Loka,
mereka semua tersesat, karena itu mereka membuat kesepakatan yaitu setuju akan
membuat pelinggih pura sebanyak jumlah mereka sekarang. Kemudian Arya Damar
beserta delapan warga pasek itu memohon kepada Dewa dan munculah Dewa dan
bersabda “ Berjalanlah ke arah Selatan Timur sampai melihat cahaya yang terang”
. maka berangkatlah Sembilan warga Pasek itu sesuai dengan petunjuk dewata.
Sampailah mereka di sebuah tempat yang terang yang penuh cahaya dan mereka
bertemu dengan Sri Mpu Sangging penguasa daerah tersebut. Maka diberinamalah
tempat itu Nabastala. Kata Nabastala pun diketahui artinya dari kata Nabas= galang, Tala= tempat atau daerah. Selanjutnya
sejalan dengan waktu tempat itu bernama Bestala.
Sembilan warga itu berembung untuk membangun
desa. Diambilah daerah dihulu desa dan pura Dalem. Kemudian Dewata
meanugerahkan keris sebagai dasar pembuatan Pura dan air suci yaitu Tirta dewa
Yadnya ( mengening), Manusa Yadhya ( Biji) and Pitra Yadnya ( Demong). Mata Air ini sampai saat ini masih mengalir dan digunakan oleh warga desa Bestala khususnya untuk kehibupan sehari-hari, pertanian dan perkebunan, bahkan warga desa tetangga pun ikut menikmatinya.
Suatu hari salah satu dari mereka meninggal dan
mereka merasa aneh membawa jenasah kea rah hulu. Maka Setra pun pindah ke hilir
desa. Mereka pun membangun Pura Dalem di sana di dekat aliran sungai Mendaum. Karena tidak boleh memiliki Pura
Dalem lebih dari satu maka Pura yang ada di Hulu di pindah ke Hilir. Setiap ada
Pujawali dilakukan uapacara pemendakan. (To Be continued)