Bukan hal baru buatku menemukan orang – orang
bersaing meraih posisi dan kesuksesan dangan cara apapun. Hal ini sering aku
dengar dari ibuku, teman – teman dan juga tetangga. Wah jadi curcolku kelebihan
nih, tapi itu bukan tidak bermanfaat. Ada pepatah yang mengatakan belajar dari
pengalaman itu bagus sekali, tapi akan lebih bagus lagi kalau itu pengalaman
orang lain. Cerita tentang mahasiswa atau karyawan yang harus berdebat dimeja
kerja demi mempertahankan pendapat atau posisi atau preman yang mempertahankan
kekuasaan itu pasti wajar tapi yang tidak wajar adalah jika pelakunya adalah
nenek yang umurnya sudah 80 tahun keatas.
Siang itu, aku
dan temanku sedikit tersesat mencari alamat tempat tes untuk mencari pekerjaan
besoknya. Tapi entah kenapa aku mengambil arah yang salah dan aku terus
berjalan. Hingga akhirnya aku dipersimpangan jalan dan ingin bertanya. Tampak
ada nenek berpakaian lusuh duduk dipinggir jalan. Aku dan temanku mencari
tempat agar teduh untuk melihat alamat kembali. Tiba – tiba nenek itu berteriak
dan marah – marah pada seorang laki – laki yang berdiri tidak jauh
dibelakangku. Karena kaget aku dan temanku menoleh. Sempat aku dengar jika
nenek itu mengumpat seorang sopir mobil APVwarna hitam yang ingin perkir di
persimpangan jalan itu, agak kedalam sih jadi cocok untuk tempat parkir
sebenarnya. Nenek itu protes kepada pemuda tadi yang mengambil uang parkir dari
sopir, karena wilayah/tanah itu ada dibawah kekuasaannya. Tampak pemuda itu
memberikan uang pada nenek itu, baru nenek itu berhenti marah. Saat beliau
sedang marah dan memaki kearah pemuda tadi aku lihat cincin emas melingkar
ditangannya. Wah, wah.. hebat banget. Nenek- nenek juga masih punya wilayah
kekuasaan rupanya. Akhirnya aku bertanya pada satpam yang tak jauh dari tempat
itu juga. Ternyata benar kita salah arah.
Sore itu juga
aku ngajar didaerah Jakarta pusat. Agak jauh kedalam dan satu – satunya
kendaraan yang paling cepat aku dapatkan dan murah adalah P20 jurusan
senen-lebak bulus. Sudah sedikit gelap jadi aku harus buru – buru naik. Tak
jauh dari sana ada seorang nenek naik lengkap dengan sebuah tas besar, sebuah
bungkusan plastik bening dan sebuah bungkusan plastik putih jadi totalnya 3
barang besar belum tas kecil yang selalu dipundaknya. Wah hebat banget nih
nenek, tapi kenapa tidak naik taksi atau angkutan yang lebih manusiawi lagi
untuk seorang nenek tua seperti nenek ini. Oleh kondektur nenek itu duduk
disebelahku tepat dibelakang supir, tapi beda kursi denganku, dibelakang supir
sudah ada ibu muda berjilbab yang tampaknya tidak nyaman dengan kehadiran
nenek. Bagaimana bisa nyaman coba, barang yang banyak itu ditaruh nenek tepat
didepannya dan nenek juga tertidur sambil menempelkan kepalanya dibahu si ibu.
Suasana bis kota yang memang selalu pengap itu ditambah dengan macet dan
kehadiran nenek yang mendesaknya terus pasti lama – lama tidak kuat. Beberapa
kali aku lihat nenek dengan ibu muda itu berbeda pendapat dan ibu muda berusaha
untuk keluar dari desakan si nenek. Hingga akhirnya dengan berbagai cara dan
dibawah tekanan tak mampu bernafas, akhirnya si Ibu muda ingin keluar dari
tempat duduknya. Nenek yang tak mau tas atau barang – barang terlangkahi
apalagi terinjak kaki berusaha menahan ibu muda seeprti membuat jalan, agar tak
melawati. Sayangnya si Ibu muda tidak tahu atau karena memang sebel, beliau
berjalan dan melangkahi tas nenek, nenek yang kesal karena merasa tersolimi
langsung mengumpat dan memaki – maki Ibu Muda dari tempat duduknya. Orang yang
paling dekat kena marah dan kaget adalah aku dan Pak Supir. Aku tak menyangka
nenek akan semarah dan seganas itu. Wah, sepanjang perjalanan hingga aku turun
dari bis kota itu nenek masih kesal dan berbicara sendiri mengarah ke Ibu muda
yang kini masih duduk di depanku.
Sungguh nenek-nenek ini luar biasa. Mereka mengingatkan aku pada kakek dan nenekku yang luarbiasa di rumahku. Yang tak pernah henti memberikan dukungan dan nasehat indahnya. Kakekku, bukanlah orang yang senang di masa kecilnya. menurut cerita nenek aku, Beliau, anak yatim piatu, bapaknya meninggal ketika kecil dan ibunya menikah lagi beberap waktu kemudian. Kakekku dan kedua adik laki- lakinya tinggal bersama bibinya yang sangat cerewet dan kejam. Mereka harus menumbuk padi orang lain agar mendapatkan upah beras. Tak pernah punya waktu bermain dan selalu bekerja apapun itu untuk menyambung hidup. Memang pada masa itu hidup sangat sulit, ditambah lagi dengan kondisi keluarganya yang demikian. Walaupun demikian pengalaman berdagang yang digelutinya dari kecil membuat kakekku pintar sekali menghitung. Beliau dan Nenekku adalah dua cinta sejati yang hebat dalam matematika. Mereka punya rumus tertentu yang menyelesaikan masalah matematika seperti perkalian sebelah, duapuluh lima dan persentange, penjumlah, perkalian, pembagian dan pengurangan sudah di luar kepala. Mereka hebat walaupun nenekku tak lulus sekolah dasar dan kakekku lulus sekolah rakyat. Merekalah yang mengenalkan padaku indahnya matematika dari masalah kehidupan sehari-hari. Jika kakek nenekku yang sangat peduli dengan pendidikan berbeda dengan Bapakku dan ibuku yang pelit, sampai dengan uang buat beli buku pun susah ku dapatkan
Setiap anak atau
remaja orang tua yang paling di sayang adalah bapak atau ibu. Kalau aku sedikit
berbeda. Karena aku lebih menyayangi Kakek dan nenekku dari pada orang tuaku.
Aku sayang Bapak dan juga Ibuku sebagai orang yang telah melahirkan dan membesarku.
Tapi orang yang lebih memaknai hidupku adalah kedua orang tua ayahku ini. Sebagai
anak pertama dari empat bersaudara kedua orang tuaku tak mudah untuk mendidikku
satu persatu apalagi memenuhi kebutuhan sekolahku. Bapakku seorang petani kecil
yang perhasilannya tak begitu besar. Aku tak bisa meminta sesuatu yang benar – benar
aku inginkan kepada orang tuaku. Karena jika aku membeli seperti baju baru atau
sepatu baru, adikku yang lain juga pasti akan merengek – rengek ingin
dibelikan. Begitu juga sebaliknya, aku belum mengerti dan belum paham arti
bergiliran dan mengalah. Karena aku tak mau mengalah juga ibu kadang memarahiku
bahkan mencubitku hingga biru. Suatu hari aku minta dibelikan buku, kalau baju
aku tak dbelikan itu tak masalah masih ada baju yang lain. Tapi jika urusan
sekolah aku tak bisa menundanya. Aku hanya menangis karena ibu dan Bapak tak
mungkin mengabulkannya. Karena tak tahan mendengar aku menangis terus ibuku
yang sedikit ringan tangan melemparku dengan apa saja yang ada didekatnya.
Itu sudah biasa, apalagi jika aku terlambat atau lupa mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu atau mengambil air yang tempatnya lumanyan jauh, atau membuang sampah sembarangan aku akan kena jewer atau marahnya. Saat ini, itu
adalah hal biasa karena memang dasarnya saja aku anak yang sedikit aktif dan
tidak suka tidur siang jadi main terus hingga lupa mengerjakan pekerjaan rumah.
Tapi waktu itu, saat aku belum tahu arti disiplin dan tanggung jawab tugas dan
kewajiban adalah hal yang paling menyiksa. Aku tak mengerti kenapa teman –
temanku bisa bebas bermain tanpa pernah dimarahi ataupun dicubit yang membuat
pantat atau tanganku sakit. Aku paling tak suka tugas menjaga adik, karena itu
akan membatasi gerakan aku untuk bermain dengan teman – temanku. Saat itu
umurku baru 8-9 tahun. Jadi sekitar kelas 4 atau 5 Sekolah Dasar. Aku ingin
sekali dibelikan buku bahasa Bali. Tapi Bapak tak kunjung membelikannya,
padahal semua tugas membaca aksara Bali belum aku buat karena menunggu buku
yang akan dibelikan Bapak. Aku menuruti dan mengerjakan apa yang ditugaskan Ibu
di rumah seperti menjaga adik, menyapu, mencuci dan mengambil air. Tumben aku
tak kena marah urusan itu, hanya karena aku ingin buku itu demi pelajaran
Bahasa Baliku yang jelek terus karena aku tak punya buku.
Bagaimana aku
bisa terima nilai aku yang lain antara 80 samapi 90 tapi Bahasa Bali dapat 70,
aku orang Bali kenapa dapetnya segitu. Teman – teman yang lain pada punya buku
yang dibelikan orang mereka masing – masing, mereka belajar dan bisa menjawab soal
ulangan dengan baik. Tapi aku, membaca aksara Bali saja masih tersendat apalagi
bisa menjawab pertanyaannya. Padahal dari segi logika, aku lebih tahu
jawabannya dari pada teman – temanku. Terbukti saat satu kali aku ulangan
menggunakan tulisan latin, nilaiku 100. Tapi begitu aksara Bali, nilaiku mulai
jatuh dan sulit untuk naik lagi dalam kondisi tak punya buku. Itulah alasan aku
memaksa Bapak membelikan Buku. Bapak memang beda, aku pun diajak Bapak langsung
ke toko yang letaknya lumayan jauh dari rumah. Saat tiba di toko buku yang tak
begitu besar dan imut itu, aku senang sekali. Andai aku punya banyak uang pasti
aku beli semua buku – buku yang aku butuhkan saat itu juga. Ditambah dengan
beberapa majalah, buku cerita, novel dan buku pelajaran lainnya. Wah, aku
langsung gila buku, posisiku saat ini seperti si pungguk merindukan bulan. Aku
sudah cukup senang dan bahagia buku Bahasa Bali yang aku butuhkan aku dapatkan.
Perbedaan
pendapat dengan Ibu yang tidak selamanya berjalan lancar. Tujuan Ibu melakukan
itu adalah untuk mendidikku. Kalau tidak, mungkin sekarang aku menjadi orang
manja dan kerjanya hanya minta uang tanpa mau berusaha. Terima Kasih Ibu dan Bapak yang telah membuatku lebih memaknai hidup. Kakek dan Nenekku yang membuatku tak pernah patah semangat walaupun badai menimpaku dan menghalangi jalanku mengingat kalian membuatku bangkit dan terus maju. Keluargakulah yang ada di balik aku saat ini.